OPINI

Koko, Kemenangan Otentik Masyarakat Makassar

Akhirnya kita sama-sama harus bersyukur dan sekaligus mengaminkan bahwa kemenangan kolom kosong di Pilwalkot Makassar adalah kemenangan arus gerakan politik cerdas dan sekaligus adalah kemenangan otentik masyarakat Makassar secara khusus dan kemenangan seluruh rakyat Indonesia.

Fajar Ahmad Huseini,
Ketua Forum Nasional Bhinneka Tunggal Sulawesi Selatan

Opini – Pilwalkot Makassar sangat menarik, yang mengundang perhatian masyarakat nasional sepanjang prosesnya. Mulai dari awal bagaimana dijegalnya Paslon Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) di tengah prosesnya yang pada akhirnya dengan “terpaksa” masyarakat Makassar harus menerima karena disuguhkan paslon tunggal saja, Munafri Arifuddin-A. Rahmatika Dewi (Appi-Cicu).

Dan yang sangat menarik terutama pada endingnya yang kemudian dimenangkan oleh kolom kosong (Koko) sebagai penegasan sikap politik masyarakat Makassar yang representasinya kurang lebih sekitar 53 %, dari beberapa hasil perhitungan cepat lembaga survey lokal dan nasional.

Menatap ini dari perspektif pribadi saya sebagai warga Makassar yang bisa jadi juga telah menjadi opini yang berkembang di masyarakat, bahwa ada tiga soal yang bisa diamati, yakni pertama kekuatan oligarki di ruang demokrasi. Kedua, di saat yang sama tergerusnya keparcayaan masyarakat kepada partai pendukung paslon tunggal tersebut sebagaimana diungkapkan Haris Azhar Direktur Kontras Jakarta tadi siang, bahwa partai-partai pendukung paslon tunggal di Makassar harus berhati-hati mensikapi kemenangan kolom kosong.

Ketiga sikap tegas dari sebuah rasionalisasi gerakan politik cerdas masyarakat Makassar. Suka tidak suka tontonan perjalanan proses Pilwalkot telah membangun penilaian adanya upaya sebuah kekuatan oligarki yang menciptakan paslon tunggal, dimana partai-partai pengusung terkesan sacara terang-terangan mencabut dukungan kepada pasangan petahana yang nota bene telah membuktikan prestasinya dengan mengantongi 130 lebih penghargaan nasional dan internasional hanya dalam kurun 3 tahun lebih masa jabatannya.

Baca Juga :  'Jalan Retak' Konsensus Ideologis Konstitusional Kita

Petahana yang di awal pendaftaran paslon harus rela kehilangan dukungan partai-partai yang tadinya sangat jelas menampakkan dukungannya. Pada poin ini opini masyarakat meyakini adanya aroma transaksional yang begitu kuat antara partai-partai pengusung dengan sebuah kekuatan elit nasional.

Memang kalau kita melihat fenomena ini telah memberikan gambaran dan sekaligus menjadi pembelajaran yang sangat berharga bahwa sistem demokraksi kita masih belum bisa memberikan solusi terbaiknya dalam menampung aspirasi rakyat dan sekaligus bagaimana melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas. Sebagai pemegang mandat tertinggi dalam ruang demokrasi kita. Pada akhirnya sebagian besar masyarakat Makassar membuktikan prosesnya sendiri dengan memperjuangkan kolom kosong.

Pada prinsipnya sistem demokrasi kita masih perlu dibenahi bersama kedepannya, meminjam istilah analisis sosiolog Jerman Jurgen Habermas bahwa rasionalisasi ruang publik dalam praktek kekuasaan seharusnya sistem demokrasi yang tidak hanya berhenti pada hal yang berkaitan dengan “legitimasi” aturan semata-mata.

Diperlukan rasionalisasi komunikatif agar praktek politik kekuasaan dan demokrasi itu berbasis nilai-nilai ilmiah dan berkeadilan, yang bebas dari bentuk sensor dan reduksi oleh kepentingan pragmatisme. Ini memang bukan persoalan mudah untuk dilakukan. Akan tetapi melihat apa yang terjadi di panggung proses Pilwalkot Makassar membuktikan ada secerca harapan.

Akhirnya kita sama-sama harus bersyukur dan sekaligus mengaminkan bahwa kemenangan kolom kosong di Pilwalkot Makassar adalah kemenangan arus gerakan politik cerdas dan sekaligus adalah kemenangan otentik masyarakat Makassar secara khusus dan kemenangan seluruh rakyat Indonesia. (*)

Facebook Comments