PilkadaPOLITIK

Tangis Margarito Kamis Saat Bersaksi Melihat Ketidakadilan Pilkada Makassar

Infoasatu.com, Makassar – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis yang dikenal tegas dan kritis, ternyata luluh juga di ruang sidang sengketa Pilkada Makassar. Sikap kesewenang-wenangan hakim PTTUN dan Mahkamah Agung (MA) jadi penyebabnya.

Margarito Kamis

Ya, Margarito Kamis,  juga manusia biasa. Ketegaran lelaki asal Ternate ini pun luluh. Air matanya tak terbendung. Sambil menunduk ia pun menangis. Suasana di ruang sidang lantai satu sesaat, hening. Beberapa kali Margarito menarik nafas panjang.

Mantan staf Khusus Menteri Sekretaris Negara tahun 2006 hingga 2007 itu tertunduk sejenak. Buru-buru ia mengambil tisu dari saku belakang celana jeans warna hitam yang ia kenakan. Tisu bekas yang sudah lusuh itu lalu diusap ke matanya yang sembab, juga hidungnya. Beberapa kali ia memperbaiki duduknya. Lalu, sejenak ia  menengadah ke atas,  menatap langit-langit ruang sidang dengan tangan dilipat kedada, menahan tangis.

Ia kemudian melanjutkan menjawab pertanyaan para kuasa hukum calon walikota dan wakil walikota Makassar Moh Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari selaku pemohon pada sengketa Pilkada Makassar ini dengan suara terbata-bata.

Margarito memang sempat terbawa emosi saat menjadi saksi pada musyawarah sengketa Pilkada Makassar di kantor Bawaslu Jalan Anggrek Makassar, Minggu (6/5/2018) sore.

Akademisi yang pernah dibimbing oleh almarhum Prof. Baharuddin Lopa saat meraih gelar sarjana dengan konsentrasi Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate ini mengaku tidak tahan melihat hukum dipermainkan oleh para penegak hukum di negeri ini.

‘’Sejak kecil saya dididik oleh orang tua saya. Oleh agama saya  juga diajarkan untuk menegakkan kebenaran. Mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Kalau saya di KPU saya tidak akan laksanakan putusan MA dan PTTUN. Sekalipun saya dipecat. Bahkan di DKPP-kan   sekalipun saya tidak takut. Sebab itu putusan salah. Koq berani  mereka menjalankan putusan yang salah,” tegas pria  kelahiran 31 Desember 1964 ini dengan suara terbata-bata menahan tangis di depan persidangan.

Baca Juga :  Prabowo-Sandi Kembali Kalah Hasil Real Count KPU

‘’Ini ada apa?  Tidak bisa dibiarkan hal seperti ini terjadi. Negara ini akan hancur kalau sesuatu yang salah dibiarkan. Apalagi ini terkait masalah hukum,” lanjut Margarito, geram.

Menurut alumni pasca sarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), ini putusan KPU Makassar yang mendiskualifikasi pasangan calon walikota dan wakil walikota di Pilwali Makassar 2018 Moh Ramdhan Pomanto dan Indira mulyasari Paramastuti adalah keputusan yang salah.

‘’Saya sangat yakin ini keputusan salah, tapi koq dipaksakan. Ini KPU, koq berani menjalankan aturan yang salah. Soal pasal 71 itu adalah kewenangan Bawaslu, bukan PTTUN,” cetus Margarito yang meraih Gelar Doktor di Universitas Indonesia.(UI) ini.

Margarito menegaskan PTTUN sebenarnya tidak punya kewenangan menyidangkan perkara yang sudah diputuskan oleh Bawaslu. Menurutnya kesalahan yang dilakukan oleh KPU, PTTUN dan MA adalah putusan yang sangat fatal.

‘’Karena itu saya menyatakan bahwa pasangan calon di Pilwali Makassar tetap dua pasang calon. Ini  sesuai penetapan KPU yang pertama. Adanya putusan dari KPU yang mendiskualifikasi salah satu paslon adalah putusan yang fatal. Apalagi pada putusan MA sangat jelas telah salah mencantumkan nama  Mohammad Ramadhan Pomanto yang seharusnya Mohammad Ramdhan Pomanto,” ungkap Margarito.

Di bagian lain ia menjelaskan bagaimana KPU menyatakan pertimbangannya tidak memenuhi syarat sementara KPU sendiri sebelumnya yang memutuskan dua pasangan calon di Pilwali Makassar.

‘’Semua persayaatan sudah terpenuhi sesuai tahapan. Kemudian ada putusan penetapan berikutnya yang mendiskualifikasi satu paslon yang mengacu pada putusan MA, yang menurut saya adalah putusan yang salah. KPU itu menggunakan hukum apa?” tanya Margarito.

Terkait telah keluarnya SK pembatalan DIAmi di Pilwali Makassar, menurut Margarito adalah sebuah kesalahan. Sebab  nama pada putusan MA yang dijadikan dasar mendiskualifikasi paslon DIAmi salah mencangtumkan nama.

Baca Juga :  Hardiknas: IYL Sosialisasi Pendidikan di Enrekang, Cakka di Barru

‘’Putusan itu kan atas nama Mohammad Ramadhan Pomanto tapi di putusan MA menyebut nama Mohammad Ramadhan Pomanto. Jadi putusan ini salah alamat,” ujar Margarito. (*)

Facebook Comments

Idris Muhammad

referensi cerdas