Hari Buruh, PJI Sulsel Kecam Kekerasan Pers di Bandung
Infoasatu.com, Makassar – Pelaksana tugas Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan Darwin Fatir, mengecam tindakan kekerasan oknum aparat kepolisian terhadap dua jurnalis saat melaksanakan tugas peliputan Hari Buruh di Bandung, Provinsi Jawa Barat.
“Jelas ini pelanggaran Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Perlakuan kekerasan itu jelas mendiskriminasikan kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi Undang-undang, ” tegasnya menyikapi persoalan tersebut di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Menurutnya, dalam ketentuan pidana pasal 18 ayat 1 setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat menghambat atau menghalangi tugas jurnalis sudah diatur.
Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-undang Pers disebutkan upaya menjamin kemerdekaan pers, dan pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebar luaskan gagasan dan informasi.
Bila dengan sengaja menghalang-halangi pers untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi, dapat dipidana kurungan penjara selama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.
Untuk itu, PJI Sulsel menegaskan perlakuan kekerasan terhadap dua Jurnalis yakni fotografer Tempo Prima Mulia dan jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza) saat menjalankan tugas dihalangi dan dipukuli, jelas pelanggaran berat dilakukan oknum aparat tersebut.
“Ini harus diproses hukum sesuai Undang-undang pers, dan bukan KUHP. Banyak kejadian seperti ini dilakukan aparat tapi tidak diproses sebagaimana mestinya. Mari kita dukung penegakan hukum di Indonesia. Ingat kerja-kerja jurnalis dilindungi Undang-undang,” tegasnya.
Selain itu, sebut Pewarta Kantor Berita ANTARA ini perlu diketahui bahwa telah dilaksanakan Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangi Ketua Dewan Pers Yosep Adiprasetyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang koordinasi di bidang Perlindungan Kemerdekaan Pers, sehingga personil kepolisian mestinya mengetahui dan mentaati MoU itu, bukan malah melanggarnya.
“Perlakukan kekerasan ini, adalah bentuk ketidaktahuan aparat kepolisian akan Undang-undang Pers termasuk menafikan MoU yang sudah ditandatangani Kapolri dan Dewan Pers. Ini kasus yang kesekian kalinya terjadi tapi tidak disikapi serius oleh penegak hukum,” tegasnya.
Sebelumnya, dua fotografer Tempo Prima Mulia dan jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza) saat meliput peringatan hari buruh mendapat kekerasan oleh oknum kepolisian setempat
Kronologi kejadian, sekitar pukul 11.30 waktu setempat Reza dan Prima berkeliling sekitar Gedung Sate untuk memantau kondisi pergerakan massa buruh yang akan berkumpul di Gedung Sate. Saat tiba di Jalan Singaperbangsa, sekitar Dipatiukur, Prima dan Reza melihat ada keributan antara polisi dengan massa yang didominasi berbaju hitam-hitam.
Reza dan Prima mengaku melihat massa berbaju hitam tersebut dipukuli oleh polisi. Melihat kejadian tersebut, keduanya langsung membidikan kamera ke arah kejadian tersebut.
Setelah pindah lokasi untuk mengabadikan gambar yang lain, Reza tiba-tiba dipiting oleh seorang anggota polisi. Menurut Reza polisi tersebut dari satuan Tim Prabu Polrestabes Bandung.
Menurut Reza anggota Tim Prabu itu menggunakan sepeda motor Klx berplatnomor D 5001 TBS
Saat dipiting, Reza dibentak dengan pertanyaan “dari mana kamu?” Reza langsung menjawab “wartawan”. Lalu menunjukan id pers nya. Lalu polisi tersebut malah mengambil kamera yang dipegang Reza sambil menginjak lutut dan tulang kering kaki kanannya berkali-kali.
“Sebelum kamera diambil juga udah ditendang-tendang. Saya memepertahankan kamera saya. Sambil bilang saya jurnalis,” kata Reza.
Kaki kanan Reza mengalami luka dan memar. Setelah menguasai kamera Reza, polisi tersebut menghapus sejumlah gambar yang sudah diabadikan Reza.
Sedangkan Prima Mulia mengalami hal yang sama. Hanya saja, Prima tidak mendapat kekerasan fisik dari polisi. Prima mengaku disekap oleh tiga orang polisi. Dia diancam dan foto-fotonya dihapus. Salah satu polisi itu mengatakan “Mau diabisin?”