Menakar Ketahanan Pangan di pulau Kodingareng dan Pajjenekan
Infoasatu.com,Makassar--Masyarakat di wilayah kepulauan tidak terlepas dari kondisi dua musim yang mempengaruhi aktivitas mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, yakni musim barat yang diidentikkan dengan musim hujan dan musim timur sebagai musim kemarau.
Saat masa pandemi COVID-19 merebak, masyarakat nelayan yang berdomisili di wilayah kepulauan yang hidupnya sudah terbatasi oleh dua musim itu, bertambah dengan satu persoalan lagi terutama ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di lapangan.
Otomatis pergerakan masyarakat dari satu lokasi ke lokasi lain menjadi terbatas. Itulah yang dialami warga di Pulau Kodingareng, Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Pulau yang tercatat terbanyak penduduknya dibandingkan 10 pulau lainnya di wilayah Kota Makassar. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4.526 jiwa yang terdiri dari 2.276 laki-laki dan 2.250 perempuan, memiliki sebanyak 1.081 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas bekerja sebagai nelayan.
Pulau Kodingareng sendiri terdiri dari 6 RW dan 16 RT dengan jumlah warga yang didominasi suku Makassar. Saat pandemi, rutinitas warganya sedikit terganggu.
Pasalnya dalam kondisi normal, ibu-ibu di pulau itu sudah berbondong-bondong ke dermaga untuk naik kapal kayu ke Kota Makassar setiap pukul 07.00 WITA untuk membeli kebutuhan sehari-hari khususnya kebutuhan sembako.
Hal itu diakui salah seorang warga Pulau Kodingareng, Daeng Sarifah.
Menurut dia, dengan ongkos perahu kayu “jolloro” Rp30 ribu pulang pergi, sudah bisa mendapatkan kebutuhan konsumsi sehari-hari di pasar tradisional di Makassar yang jauh lebih murah dibandingkan membeli kebutuhan rumah tangga di pulau kediamanannya.
Namun, saat PSBB jumlah penumpang dibatasi karena harus melakukan jaga jarak antarapenumpang, maka warga yang akan ke Kota Makassar, harus digilir jadwal keberangkatannya.
Sebagai gambaran, untuk kapal berkapasitas 30 hingga 50 orang, saat PSBB hanya diperkenankan mengangkut penumpang 10 hingga 15 orang saja. Karena itu, warga harus pandai-pandai berhemat agar tidak kehabisan bahan pangan.
Kondisi itu juga diakui warga lainnya yang juga Ketua RW 2 Kodingareng, Hayati.
Dia mengatakan, untuk menjaga ketahanan pangan di pulau seluas 14 hektare tersebut, pihaknya bersama ibu-ibu nelayan memproduksi abon ikan.
Abon yang dhasilkan itu selain dapat dijual ke pasaran, juga dapat disimpan untuk kebutuhan konsumsi di rumah. Harganya pun cukup terjangkau dengan Rp15 ribu per kemasan 250 gram. Bahkan tak sedikit pengujung Pulau Kodingaren menjadikan abon ikan itu sebagai buah tangan alias ole-ole.
Kemampuan ibu-ibu nelayan membuat abon ikan seperti yang dijual di toko swalayan itu, imbuh Sekretaris Lurah Kodingareng Rugayya, tidak terlepas dari bantuan modal kerja dan pembinaan Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan, Pemkot Makassar.
Termasuk dua lembaga donor asing yakni International Fund for Agricultural Developmen (IFAD) dan Coastal Community Developmen Project (CCDP). Kedua lembaga ini turut memberikan pendampingan kepada kelompok usaha industri rumah tangga ibu-ibu nelayan.
Selain itu, kondisi warga Pulau Kodingareng cukup terbantu dengan turunnya dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi warga yang terdampak COVID-19 senilai Rp600 ribu per bulan per KK.
Belum lagi dana Program Keluarga Harapan (PKH) bagi warga yang memiliki anak bersekolah, anak balita atau bayi dan ibu hamil dari Kementerian Sosial.
Semuai itu ibarat musim kemarau yang terbalaskan dengan hujan sehari saat ketiga jenis bantuan pemerintah, cair hampir bersamaan waktunya.
Kendati tidak semua warga mendapatkan dana bantuan sosial itu, namun setidaknya sudah terbantu dengan adanya bantuan sembako dari Pemkot Makassar bagi yang terdampak COVID-19.
Perempuan paruh baya, Mulayana yang mengaku tidak mendapatkan salah satu dari bantuan dana sosial itu, sudah bersyukur karena mendapatkan bahan pokok per bulan dari Pemkot Makassar berupa beras 15 kg, satu rak telur, ayam satu ekor dan buah-buahan.
Menurut dia, bantuan tersebut dapat membantu asap dapurnya terus mengepul di tengah serba keterbatasan pada masa pandemi dan kini menghadapi adaptasi normal baru.
Hal senada dikemukakan Daeng Nurung, salah seorang warga di Pulau Pajjenekang, Desa Mattiro Deceng, Kecamatan Liukang Tupa’biring, Kabupaten Pangkep, Sulsel.
Dia mengatakan, meski tidak ada pembatasan ke ibukota kabupaten untuk membeli kebutuhan konsumsi, namun bantuan bahan pokok dari Pemkab Pangkep sudah dapat menutupi kebutuhan konsumsinya beberapa hari ke depan.
Setiap hari,lanjut dia, hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan dari suami dan anaknya. Apabila keberuntungan berpihak padanya, suami pulang dengan membawa uang ratusan ribu rupiah dan sisa ikan yang tidak terjual untuk dimakan bersama keluarga.
Namun jika Dewi Fortuna atau keberuntungan tidak berpihak, maka biaya BBM minimal Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per hari habis tanpa ada hasil tangkapan. Jadi rugi biaya, waktu dan tenaga.
Karena itu, warga Pulau Pajjenekang berupaya menguatkan ketahanan pangan lokal yang ada di wilayahnya, misalnya memanfaatkan ikan tersisa menjadi bahan pangan berupa “cao” yang dapat menjadi sambel atau lauk.
Termasuk memanfaatkan buah dan daun kelor serta buah sukun yang banyak di pulau.
Menurut Camat Liukang Tupa’biring Wahyuddin, warganya yang berada di kepulauan tidak terlalu kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya. Pasalnya, tidak ada pembatasan jumlah penumpang di kapal yang ditumpangi ke daratan baik pada saat PSBB maupun pada masa adaptasi normal baru.
Kondisi itu berbeda jauh dengan Pulau Kodingareng yang berada di wilayah Kota Makassar yang sempat dibatasi ke kota pada masa PBSB. Warga pulau yang ada di wilayah Kabupaten Pangkep, lebih fleksibel menghadapi imbauan pemerintah dalam menerapkan protokol kesehatan COVID-19.
Alasan H Madu, salah seorang warga Pulau Pajjenekang, warga di pulau lebih terjaga dari ancaman virus COVID-19 karena penduduknya lebih homogen dan jika ada pendatang, cepat terdeteksi. Apalagi jumlah penduduknya jauh lebih sedikit yakni hanya sekitar 3.000 jiwa dengan 400 KK dan 250 unit rumah dibandingan Pulau Kodingareng yang tergolong padat penduduknya.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang menjadi salah satu kebutuhan dasar warga di dua pulau itu baik yang berada di wilayah Kota Makassar maupun Kabupaten Pangkep, keduanya membutuhkan sinergitas dari para pihak.
Hal itu dikemukakan Camat Liukang Tupa’biring Wahyuddin dengan mencermati kondisi warga di sejumlah pulau yang ada di wilayah kerjanya.
Menurut dia, peranan Kepala Desa selaku perpanjangan tangan pemerintah di level paling bawah harus dapat mencermati dan menjawab kebutuhan warganya di lapangan.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, pemerintah telah menetapkan alokasi besaran dana desa sebesar Rp960 juta untuk setiap desa pada 2020.
Wahyuddin mengatakan, dalam pengimplementasian dana desa itu hendaknya kepala desa tidak kaku dan terpaku pada kegiatan pembangunan fisik saja. Tetapi juga lebih kepada prioritas kebutuhan warga misalnya dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
Pemberian pengetahuan dan keterampilan akan membantu meningkatkan kesejahteraan para warga pulau, setidaknya akan menjadi bekal untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal.
Hal itu sejalan dengan pernyataan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel Sulkaf S Latief.
Menurut dia, lembaga yang dipimpinnya selain memberikan sosialisasi pada masyarakat pesisir dan kepulauan tentang pentingnya menjaga biota laut, juga memberikan bantuan perahu dan bantuan alat penangkapan yang ramah lingkungan.
Hal itu dinilai penting untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan yang sebagian besar masuk kategori prasejahtera, karena hanya menggantungkan hidup dari ponggawa (juragan) selama ini.
Sementara itu, Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep Hj Andi Faridah mengatakan, mengatasi dampak COVID-19 maka pemerintah telah menyalurkan dana BST pada 1.710 nelayan di wilayah kerjanya.
Dia berharap, dana tersebut dapat memperkuat ketahanan pangan warga pulau di Kabupaten Pangkep yang tersebar pada 80 pulau yang berpenghuni dari total 117 pulau di Kabupaten Pangkep.
Kabupaten Pangkep sendiri merupakan kabupaten yang terbanyak pulaunya dibandingkan 23 kabupaten/kota lainnya di Sulsel yang total pulaunya tercatat 313 pulau.
Mencermati fenomena tersebut, tentu menjadi catatan tersendiri bagi pengambil kebijakan di Sulsel agar warga pulau juga mendapatkan kebutuhan dasarnya sama dengan warga yang ada di daratan di ibu kota kabupaten ataupun provinsi, sehingga ke depan tidak ada lagi cerita warga pulau berada di bawah garis kemiskinan dan tidak memiliki ketahanan pangan