Infoasatu.com, Opini – Istilah era revolusi industri 4.0 memang sedang trend dekade belakangan ini dan pastinya bagi sebagian orang begitu memukau, hingga menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan para politisi, akademisi, hingga publik luar dan dalam negeri. Apalagi wacana ini telah dijadikan “salah satu poin” jargon kampanye bapak Presiden RI, Joko Widodo, yang telah kita saksikan bersama-sama ketika beliau mengungkapkannya dalam potongan argumennya pada salah satu sesi debat di Pilpres yang lalu.
Revolusi Industri 4.0 mulai mengemuka pertama kalinya dari ungkapan sekelompok perwakilan para peneliti dan teknokrat berbagai bidang disiplin ilmu di negara Jerman, yakni tepatnya pada tahun 2011 lalu pada saat berlangsungnya acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa fase perkembangan industri saat ini telah mengalami lompatan inovasi signifikan dari perkembangan sebuah kreativitas baru para teknokrat, bahwa proses produksi pada sektor sistem industri mulai berubah sangat pesat. Pemerintah Jerman saat itu juga merespon dengan serius soal ini dan tidak lama menjadikannya sebuah jargon resminya.
Selanjutnya pemerintah Jerman bahkan membentuk perkumpulan khusus untuk merumuskan penerapan industri 4.0, dengan sangat serius dan tidak tangung-tangung di tahun 2015 lalu mengolontorkan dana €200 juta untuk menyokong pemerintahnya dalam bekerjasama dengan para pihak akademisi, dan pebisnis untuk melakukan penelitian lintas disiplin ilmu.
Tidak hanya Jerman yang melakukan penelitian serius mengenai Revolusi Industri 4.0 ternyata pihak pemerintah Amerika Serikat juga merespon dengan mendorong Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari berbagai sektor produsen, pemasok, perusahaan teknologi, lembaga pemerintah, berbagai perguruan tinggi dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk merespon paradigma baru di balik Revolusi Industri 4.0.
Secara garis besarnya revolusi industri 4.0 dan merupakan lompatan signifikan perkembangan sains dan teknologi berkaitan sektor industrialisasi sejak era fase 1.0, 2.0, 3.0 (lihat sejarah perkembangan dunia industri). Pada prinsipnya industri 4.0 disebut juga dengan istilah “smart factory”, yakni kolaborasi canggih yang sangat adapatif antara sistem industrialisasi dengan kendali sistem informasi. Peristilahan teknisnya familiar disebut dengan Internet of Things (IoT) dan secara garis besar metode sistem ini bekerja dengan memiliki kemampuan dalam mengkoneksikan dan memudahkan proses komunikasi antara kegiatan mesin, perangkat, sensor, dan manusia melalui sebuah jaringan internet.
Sehubungan dengan ulasan di atas pertanyaan seriusnya bagaimana pemerintah Kabinet Indonesia Maju yang menggadang-gadang narasi industri 4.0 ketika akan membuat stimulasi pada skema penerapan kebijakannya?. Saya berasumsi ini masih pada tahap perencanaan dan belum benar-benar konstruktif, dan di sini saya mau mengatakan sebagai catatannya bahwa adaptasi penerapan industri 4.0 memiliki dampak plus minusnya, karena dituntut arah regulasi yang harus benar-benar bijak nantinya. Pastinya karena salah satu masalahnya misalnya adalah pengurangan keterlibatan tenaga kerja, yang merupakan masalah dampak (impact) “soal efisiensi” tadi pada konteks tertentu.
Sebenarnya memang ada dampak yang belum selesai dalam perjalanan sejarah industrialisasi karena masalah klasik tersebut tak pernah terselesaikan dengan memadai sejak era industri 2.0. Sehingga masih menjadi kajian serius pada konteks epistemik dan filosofisnya mengenai arah perkembangan konsep teori sosiologinya, ini misalnya dapat dilihat dalam debatebel wacana modernsime dan postmodernisme. Terlepas dari masalah angka-angka tujuan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu dasar pijakan tujuan pembangunan negara kita, maksud tulisan ini sebenarnya mau menitikberatkan pada proposisi kritik pada aspek sosiologisnya berkaitan dengan sebuah debatebel “arti rasionalisasi pada strategi pembangunan” yang dimaksud secara kongkrit.
Menyoal Makna Rasionalisasi
Berbicara tentang Indonesia hari ini dan ke depannya, tidak bisa disederhanakan dengan sekedar kalkulasi tujuan angka pertumbuhan ekonomi dan semacamannya. Karena ada visi kemanusiaan dan keadilan di mana prinsip karakter ideologi negara itu diletakkan pondasinya, yang merupakan artikulasi cita-cita luhur dari Pancasila dan UUD 1945. Ada sebenarnya persoalan sangat serius yang bisa ditimbulkan yang akan menimpa sebuah sistem kemasyarakatan, ketika struktur strategi pembangunannya hanya menitikberatkan pada soal pertumbuhan ekonomi, birokratisasi, dan teknokratisasi, yang justru bisa secara langsung dan tidak langsung memanipulasi makna esensi kemanusiaan dalam nafas masyarakatnya, misalnya saja berkaitan soal problem solidaritas kemanusiaan yang berkeadilan dalam framing artikulasi arah emansipasi yang masih begitu besar hambatannya di negera kita.
Kita mungkin sudah memahami bersama bahwa lompatan capaian sains dan teknologi belum berbanding lurus dengan soal solidaritas kemanusiaan, yang memang masih menjadi proyek wacana kajian sosiologi peradaban yang belum selesai. Karena sampai hari ini pada kenyataannya kemajuan logika sains dan teknologi pada konteks tertentu, walaupun memang melayani secara efisien kebutuhan manusia tapi disaat yang sama “menyingkirkan manusia lainnya”, akibat kenyataan alienasi karena kehilangan sense solidaritas nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sebagai catatan yang perlu digaris bawahi, uraian ini bukan berarti kita mau membangun semacam antipati terhadap lompatan perkembangan sains-teknologi, sama sekali tidak ini hanya bertujuan memetakan eskalasi, bagaimana mencari cara agar menghadirkan makna kemanusiaan dalam kungkungan lompatan perkembangan teknologi yang begitu cepatnya, dan relevansinya terhadap arah pembangunan negeri ini, walaupun pastinya bahwa ini jelas bukan wacana baru.
Mendaras revolusi industri 4.0 ini secara garis besar sebenarnya mencoba untuk mengkritisi dan sekaligus mengoreksi sikap kebanggaan semu yang berlebihan atas “capaian kebudayaan ilmiah modern” yang sebenarnya di satu sisinya menyimpan banyak persoalan dan bentuk kecacatannya. Tentunya pada poin terakhir ini harus saya katakan, bahwa konotasi keseluruhan uraian tersebut di atas, sejatinya secara langsung memang mempertanyakan soal bentuk “rasionalisasi regulasi” yang akan diterapkan pemerintah nantinya berkaitan industri 4.0 dalam konteks pertanggung-jawaban ideologis dan moral konstitusional terhadap harapan pelayanan publik yang berkeadilan.
Akhirul Kalam, biarlah waktu yang akan menjawabnya dan yang paling penting mari kita kawal bersama-sama, tentunya dengan mempersiapkan bentuk rasionalisasi kritik yang memadai, ketika koreksi itu harus dilakukan sebagai bentuk partisipasi aktif kita menuju Indonesia Maju, sekian.
Oleh:
Fajar Ahmad Huseini (ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulsel)
Infoasatu.com,Makassar--Calon Wali Kota (Cawalkot) Makassar, Indira Yusuf Ismail, mengajak warga Kota Makassar untuk menjadi pemilih…
Infoasatu.com,Makassar--Calon Wali Kota Makassar nomor urut 3, Indira Yusuf Ismail, bersama Komunitas #maRIKi Maju Bersama,…
Infoasatu.com,Makassar--Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota Makassar, Andi Arwin Azis menghadiri Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun…
Infoasatu.com,Makassar--Penjabat sementara (Pjs) Wali Kota Makassar, Andi Arwin Azis, meninjau langsung pelaksanaan program Sabtu Bersih…
Infoasatu.com,Makassar--Calon Wali Kota Makassar, Indira Yusuf Ismail, melakukan silaturahmi dengan pengurus Cabang Muhammadiyah Kota Makassar,…
Infoasatu.com,Makassar--Paslon nomor urut tiga (3) walikota Makassar, Indira-Ilham ( INIMI) dan Paslon Gubernur urut satu…
Leave a Comment