Sebuah Refleksi Menuju Realisasi Brand Makassar Sebagai Kota Bhinneka Tunggal Ika
Infoasatu.com, Makassar – Berabad-abad lamanya Nusantara sudah menjadi salah satu “kampung global” (global village), sehingga perjalanan sejarah peradabannya yang terbentuk begitu sangat dinamis. Bagaimana misalnya, catatan sejarah kita tentang keberadaan Bangsa China, Arab, Persia, dan Eropa yang pernah “singgah”, hingga yang telah menetap beranak-pinak berdomisili di negeri seribu pulau ini. Walaupun sebenarnya dalam setiap fase peristiwanya memiliki berbagai latar belakang kejadian yang melandasinya, mulai dari yang motifnya hanya sekedar untuk tujuan berdagang, misi penyebaran agama, hingga yang melakukan praktek eksploitasi-dominasi atas kekayaan alamnya (baca; politik-kolonialisme).
Dalam konteks proses interaksinya tersebut bisa dikatakan bahwa, kondisi di Nusantara sendiri dari seluruh hamparan pulaunya memiliki ratusan hingga mendekati ribuan pulau yang dihuni beragam suku (etnis). Salah satu poin pentingnya yang harus dikatakan bahwa Nusantara kita fakta “genetikanya” adalah “gado-gado” antara berbagai etnis dari luar Nusantara dan masyarakat lokal yang sekaligus juga beragam, sekali lagi bahwa itulah realitas faktualnya yang hari ini telah menjadi Indonesia kita.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai azas prinsip atau roadmap kebijaksanaan dalam peradaban Nusantara sebagaimana terekam dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular (Abad ke-14), yang merupakan warisan manuskrip sejarah kita, sebagai muatan pembacaan akan realitas fakta, renungan kebijaksanaan (filosofis makna) atau idealisme akan nilai-nilai kehidupan, yang sekaligus bisa ditafsirkan sebagai harapan akan cita-cita sebuah peradaban besar, dari negeri yang ibaratnya seperti warna pelangi nan-indah. Sekali lagi harus dikatakan pola globalisasi sudah berlangsung pada masa lalu disaat itu, walaupun suasana konstelasinya tidak sama persis seperti sekarang, ketika begitu pesatnya lompatan teknologi informasi (era siber) seperti hari ini.
Keberadaan agama-agama tertua hingga agama terakhir yang berasal dari luar Nusantara datang mengukir peradabannya masing-masing dan hidup berdampingan, sekaligus tentunya telah berasimilasi “secara dinamis dan cerdas”, dengan keyakinan agama-agama atau kearifan lokal Nusantara yang begitu beragam. Tak bisa dipungkiri bahwa memang ada beberapa “catatan minus” pada fase perjalanannya, dimana terjadi politisasi yang “saling menginvasi” atas nama legitimasi agama, dan sejatinya hal itu lebih bermuatan politik-kekuasaan daripada tujuan substansial ajaran eksistensi agama-agama itu sendiri. Kalau bercermin pada problema kenyataan realita hitoris tersebut, memang masih saja ada pola gelagatnya yang sedikit memiliki kemiripan dengan yang terjadi sekarang. Walaupun jika dianalisa pada muatan detilnya tidak sama persis dengan suasana kebatinan praktek politik-demokrasi KITA hari ini, akan tetapi yang harus dikatakan masih ada saja semacam gangguan yang mirip, yaitu terindikasi mengidap sejenis “penyakit KAMI” yang artinya adalah mengerasnya polarisasi identitas. Dan tentunya mungkin belum sampai pada tahap yang begitu kronis [semoga saja kedepannya tidak akan terjadi].
Pancasila dan “bayangan” ultranasionalis;
Ultranasionalisme (extreme nationalism) adalah ideologi nasionalisme radikal dari konteks historisnya mengacu pada apa yang dikenal dengan istilah lainnya sebagai fasisme. Contoh sejarah fasisme salah satunya bisa dilacak pada awal mulanya dari proses sengitnya tradisi pergumulan intelektual masyarakat Jerman yang termanifestasikan dalam konstelasi politik pada ruang publiknya pada pertengahan abad ke -19, hingga memasuki awal abad ke-20 (Bandingkan, Post-National Constellations: Political Essays, Jurgen Habermas). Gambaran sederhananya fasisme adalah bentuk implikasi dari radikalisme rasis, yang dampak terburuknya dapat kita lihat secara gamblang pada gerakan politik anti-semit Nazi di Jerman, atau contoh lainnya dari berbagai kejadian praktek genosida di beberapa tempat. Misalnya saja yang juga paling mencolok, sejarah kolonialisasi bangsa Eropa yang menjadi negara Amerika Serikat sekarang ini, “yang fondasi eksistensinya” ditancapkan dengan tindakan genosida paling berdarah dan memilukan yang dilakukan terhadap beberapa suku Indian, sebagai pemilik tanah air benua Amerika yang sebenarnya. Ringkasnya, bahwa fasisme bisa saja berpotensi berkembang dari kelompok masyarakat atau di negara mana saja jika melihat dari pertimbangan berbagai faktor penyebabnya. Tema ultranasionalis atau fasisme telah menjadi topik tren dalam masyarakat kita belakangan ini, mulai dari yang hanya sekedar diskusi ringan ala warung kopi, hingga pada topik diskursusnya yang paling serius di forum-forum ilmiah.
Mungkin sub-topik tulisan ini terlihat “agak berlebihan”, tapi tidak menghalangi kita untuk menguraikan topik ultranasionalisme dan Pancasila sebagai pembahasan. Kalau anda menggoogling istilah itu, akan ditemukan “relasi” untuk kemudian kenapa topik tersebut begitu sangat penting untuk diinterpretasikan kembali. Secara garis besarnya berangkat dari pertanyaan, apakah fenomena ultranasionalisme akan memungkinkan berkembang di negeri kita?, tentunya dalam mengawali pembicaraan pada konteks tersebut, harus dilihat dari pijakan nasionalisme ideologi kebangsaan kita dalam konteks konstitusional negara sebagai acuan pertimbangannya.
Kembali pada pertanyaan di atas, ada dua poin untuk mengkritisi wacana yang berkembang tersebut, pertama, soal konotasi diksi ” radikalisme Pancasila” sehingga secara tidak langsung bersamaan dengan mengemukanya istilah ultranasionalisme, dan kedua, menatap perjalanan sejarah Pancasila, yang terdistorsi sebagai akibat legitimasi kekuasaan otoriter yang menguat pada masa rezim Orde Baru. Kita memulainya dari telaah nasionalisme Pancasila apakah dimungkinkan bisa mengarah pada asumsi narasinya sebagai radikal?, Tulisan ini sebenarnya berangkat dari pertanyaan tersebut, karena beberapa tulisan atau opini soal ini sudah cukup rame di media cetak dan online. Untuk itu singkat saja dengan menambahkan beberapa poinnya, yang diawali dengan menjawabnya begini, bahwa asumsi tersebut terlalu berlebihan atau bahkan perspektif itu tidak berdasarkan pada gambaran realita fakta sejarah yang ada, sebagai pendukungnya.
Selanjutnya ada tiga perspektif landasan dalam membantahnya, pertama, sebagaimana di awal uraian ini, cukup jelas sebagai pijakannya untuk menguatkan bantahan ini. Karena secara umum tidak beralasan sama sekali ketika mengkhawatirkan nasionalisme kita bisa mengarah pada radikalisme, dengan pertimbangan bahwa, realitas genetika Indonesia selama berabad-abad lamanya telah terbentuk dari akar budaya toleransi dalam nafas kebatinan kebhinekaannya. Sehingga tidak ada relevansinya sama sekali atas pilihan diksi fenomena ultranasionalis yang akarnya terjadi di Eropa, untuk kemudian digunakan sebagai kacamata sudut pandang dalam membaca nasionalisme kita hari ini.
Selanjutnya, karena realita genetika Indonesia yang multi-etnik, sedangkan dalam sejarah negara Eropa yang mengalami fenomena ultranasionalis seperti di Jerman pada era Nazi, masyarakatnya dominan terdiri dari satu ras, ditambah lagi karena mereka memiliki “romatika historis semu” tentang sentimen ras unggul sebagai bangsa Aria. Sebagaimana analisis situasionalnya juga, bahwa tragedi kejadian genosida saat gerakan politik Nazi, karena realitanya saat itu, relatif baru berproses berasimilasi dengan etnis pendatang lainnya, salah satunya misalnya dengan pendatang Yahudi.
Mengutip apa yang pernah diungkapkan bapak bangsa yang sekaligus Presiden RI ke-4, Kyai H. Abdul Rahman Wahid yang familiar kita kenal dengan Gus Dur, beliau mengatakan, “bahwa sudah berlangsung berabad-abad lamanya Pancasila yang hakikatnya adalah Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi akar dari karakter budaya Nusantara, walapun pada saat itu tanpa nama”. Kemudian endingnya pada proses awal kemerdekaan bangsa Indonesia, maka dirumuskanlah secara sistematis dan konstruktif sebagai landasan ideologi filosofis dan dasar pijakan konstitusional negara kita oleh Bung Karno.
Kedua, berbicara tentang perjalanan sejarah Pancasila memang harus diakui sejak 32 tahun rezim ORBA, telah terjadi upaya sistematis untuk melakukan distorsi makna Pancasila yang otentik, singkatnya ada tindakan secara masif “de-Soekarnoisasi” atas apa yang menjadi dasar filosofis otentik Pancasila yang telah dirumuskan oleh Bung Karno. Artikulasinya upaya ini motifnya begitu jelas terekam dalam sejarah kita, bagaimana legitimasi Pancasila digunakan menjadi bahasa kekuasaan otoriter yang melenceng jauh dari cita-cita keadilan untuk seluruh rakyat, yang sejatinya pemilik mandat kekuasaan tertinggi di negerinya sendiri.
Ketiga, sebagai penutup dua uraian pointer uraian sebelumnya, bahwa munculnya narasi Pancasilaisme radikal, kalau kita cermati secara objektif, sebenarnya muatannya adalah “upaya tendensius” yang berasal dari respon kelompok intoleran-sektarian agama dari segilintir masyarakat, yang berupaya membangun narasi delegitimasi atas ideologi Pancasila. Sederhana saja bentuk koreksinya, bahwa karena Pancasila adalah sebagai benteng kokoh NKRI yang merupakan hambatan terbesar atas provaksi makar. Kemudian mengacu pada logika-rasionalisasinya, bahwa hakikat Pancasila fondasinya berazaskan ke-Tuhanan yang non-sektarian, karena substansinya berbanding lurus dengan artikulasi kemanusiaan universal dalam makna filosofi keadilannya yang otentik. Jadi bagaimana mungkin kemudian kita bisa “mengamini” apa yang dinisbahkan dengan radikalisme Pancasila!, kecuali kalau memang “dibelokkan” sebagai upaya politisasi kekuasaan otoriter, yang sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila itu sendiri, yang justru mengafirmasi atau menegaskan kembali bahwa, tidak relevannya penggunaan narasi atau diksi radikalisme atas Pancasila.
Oleh:
Fajar Ahmad Huseini
(Ketua DPD Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sulsel)